Tuesday, March 15, 2016

SUPER EGO

buku karya dari dale cannon ternyata isinya sangat menarik, dulu saya pernah membaca waktu mengikuti kelas spiritualitas kristiani, judul buku itu adalah six ways of being religious. dalam buku tersebut saya merasa diajarkan untuk menghargai ekspresi iman seseorang dalam bentuk apapun, karena setiap manusia dapatlah memiliki berbagai macam pengalaman ketika bertemu dengan tuhannya.

bagi seseorang yang belajar secara akademis mengenai nilai-nilai yang muncul dalam berbagai agama, toleransi merupakan capaian tertinggi dari apa yang telah dipelajarinya, sehingga membuat pribadi tersebut tidak mudah "gatal" atau "jijik" terhadap sebuah pergerakan atau bentuk-bentuk ekspresi iman orang lain.

belakangan ini berita mengenai LGBT terasa cukup menguras tenaga dan hati orang-orang yang menganggap dirinya beragama dan merasa dekat dengan Tuhan, tak jarang terdengar seruan2 untuk menentang atau mendukung para "pelaku" LGBT. dalam dunia politik di Indonesia, berita mengenai LGBT dapat dianggap sebagai pengalihan isu politik, kasus LGBT dirasa sangat ampuh untuk dijadikan senjata guna membuai masyarakat Indonesia untuk lupa dengan permasalahan politik dalam negri seperti "papa minta saham", "papa doyan l*nthe", atau kasus pelindo, dweling time dll.

di sisi lain, banyak cerita tentang masyarakat Indonesia atau sekelompok orang/ komunitas yang menolak untuk tinggal berdekatan dengan sesamanya yang berbeda keyakinan atau dianggap "nyeleneh" dalam bidang keagamaan, contohnya: kasus perijinan gereja di bogor yang tak kunjung usai, kasus ahmadiyah yang begitu memilukan, atau kasus para penganut gafatar yang tak ketinggalan menuai luka pada hati para pemeluknya.

Indonesia merupakan sebuah negara dengan keberagamannya, tapi Indonesia juga merupakan negara yang paling mudah digoreng dengan isu-isu murahan yang berkaitan dengan agama, dengan kata lain, jualan agama masih menjadi dagangan paling laris di negeri 6 menara ini.
keprihatinan terhadap situasi ini akhirnya menjadi pemicu para teolog yang merasa tergugah untuk melahirkan "sikap toleransi antar umat" di manapun dia berada, sehingga setiap jalannya selalu dilandasi dengan nafas perdamian guna menjaga kerukunan umat beragama. hal ini merupakan sebuah pemandangan yang indah, yang asik untuk dinikmati, didukung, dan dilestarikan. gerakan-gerakan perdamaian ini biasanya memiliki punch line super yaitu "kasih".

tetapi sangat disayangkan apabila gerakan-gerakan para teolog yang peduli pada keberagaman harus ikutan sibuk dan kehabisan tenaga untuk memerangi "kaum" nya sendiri, di mana terdapat banyak pemeluk ajaran "kasih - mengasihi" ini justru hanyut dan larut dalam upaya-upaya menuhankan diri dan gerejanya untuk menghakimi sesamanya.

"kamu berdosa dan aku tidak maka kamu harus bertobat atau ditobatkan"
"ajaranmu salah, ajaranku paling benar, sehingga kamu layak di rekonstruksi imannya"
"gerejaku paling benar, gerejamu tidak benar, layaklah aku memberitakan pada jemaatku bahwa gerejamu pantas ditertawakan"

bagaimana bisa menghayati "kasih - mengasihi" apabila keseharaiannya diwarnai dengan cibiran dan nyinyir terhadap ekspresi iman orang lain?
bagaimana bisa menghayati makna kebersamaan apabila tak ada penerimaan?
bagaimana bisa menghayati makna pengampunan apabila setiap hari menumbuhkan kebencian dalam diri ataupun melahirkan kebencian (secara) komunal?

bagaimana bisa mencinta jika rinduku saja tak pernah kau hiraukan..... ah kalimat terakhir ini mungkin pertanda aku sudah lelah... saatnya tidur, selamat malam semesta...