Sunday, January 24, 2016

PARENTING

Beberapa bulan lalu aku asik dan mencoba lekat dengan istilah parenting. Dan bagi banyak orang yang kuajak diskusi, mereka mengatakan tema ini tema yang sangat membosankan, nasihat salah satu teman dalam diskusi tersebut, “ah, kau terlalu kawatir dengan masalah itu, kau belum berkeluarga seperti aku, nanti kalau kau berkeluarga pasti kau juga bisa seperti aku”.

Sejenak aku terdiam dan rada tersinggung dengan kata, “ah....”, yang dilontarkan temanku itu. kenapa aku begitu tersinggung dengan kata itu? Ya karena begitu banyak kenyataan di dunia ini, orang tua yang sudah lebih profesional, pengalaman, dan sudah pernah menikah beberapa kali, punya anak banyak, masih gagal mendidik anaknya. Ada yang jadi preman, jadi begundal, narkoba, judi, pencuri, tukang tawuran, tukang nyakitin hati anak orang, susah bersosialisasi, dan masih banyak lagi kasus-kasus kenakalan remaja bahkan banyak yang terbawa hingga hari tuanya. Dan memang bagiku masalah parenting ini bukan masalah yang sepele. Deal? Semoga banyak yang deal dengan ku.

Teori yang disampaikan oleh elizabeth hurlock dalam psikologi perkembangan, dalam rentang kehidupan manusia itu terdapat beberapa fase yang sangat penting dan dapat mempengaruhi keseluruhan hidup manusia sampe dia mati. Bagi Elizabeth Hurlock, fase itu dikenal sebagai fase remaja, rentangnya dari usia 12-21 tahun. Kalau beranjak dari teori hurlock, sistem pendidikan di Indonesia memetakan fase tersebut menjadi lebih detail, 12-14tahun masuk masa SMP remaja awal, 15-17tahun masuk masa SMA remaja pertengahan, dan 18-21 tahun, masa biasanya masuk kuliah, adalah masa remaja Akhir. Fase remaja merupakan fase yang sangat kritis, karena di masa remaja muncul berbagai macam perubahan dalam dirinya secara fisik, psikologis (mental), dan perubahan peran sosial yang JAUH BERBEDA dengan masa kanak-kanak. Ketika anak remaja mampu melalui fase ini dengan baik, maka dia akan jadi manusia dewasa yang baik, atau sebaliknya, jika dia gagal, maka seluruh hidupnya akan bermasalah, bukan untuk dirinya sendiri tapi juga bagi orang lain.

Meskipun fase remaja berbeda dengan fase anak-anak, tetapi ORANG TUA memiliki peran penting dalam mendidik anak dalam segala hal, yaitu PENGAJARAN, KETELADANAN, dan KEDISIPLINAN, jika ketiga hal ini meleset, bagi sukidi (penulis buku kecerdasan spiritual) maka akan terdapat ketimpangan dalam diri anak, sebutan lainnya, akan ada kejadian terputusnya anak dengan inti dalam hidupnya (hati/ Qolb) dan kejadian itu akan meruncing pada krisis moral yang masif pada diri anak, dan rentan terjadi penyimpangan dalam bentuk kenakalan remaja. MENGERIKAN? Mungkin saja, tapi buktinya banyak ahli psikologi yang menyatakan demikian, salah satunya Sarlito w. Sarwono, seorang pengamat remaja, menyimpulkan dalam sebuah pandangan, “teori buah jatuh tak jauh dari pohonnya bisa saja keliru, tapi teori tentang ketika cara mendidik anak salah dari kecil, pasti besarnya bermasalah, itu tidak akan pernah keliru”. Benarkah demikian? 

Jean piaget menyatakan dalam bukunya, bahwa sebenarnya setiap anak sejak dalam janin sudah memiliki kemampuan untuk belajar melalui reflek dari embrio, yang biasa diteliti dari perilaku, gerak, dan reaksi fetus (janin). Gak percaya kan? Saya juga nggak, tapi dari video yang diberikan teman saya (Radhitya Yudha Widyanta), yang berjudul “SRAWUNG SEDULUR” dari bijak jawa, memberikan informasi, bahwa dalam budaya budaya jawa ada sebuah kepercayaan bahwa seorang bayi yang lahir ke dunia ini telah belajar tentang prinsip kekeluargaan. GAK PERCAYA? BEGINI BUNYINYA: 

Bayi merah yang baru lahir itu beserta dengan empat saudara. Si Sulung disebut Kakang Marmati, tercipta dari nafas ibu yang melahirkan. Kakak kedua disebut Kakang Kawah, orang modern menyebutnya plasenta. Jabang bayi sebagai yang di tengah. Adik pertama disebut Ari-ari, dalam bahasa Indonesia disebut tembuni. Adapun bungsunya disebut Rah, yaitu darah persalinan ibu. Lengkap sudah yang disebut empat saudara, yang kelima sebagai titik pusat. Makhluk yang disebut manusia memikul tanggungjawab merawat kedua kakak dan kedua adiknya itu dengan etika seutuhnya.

Bercampur dengan pergumulan tentang parenting dan melihat kenyataan dalam dunia ini, okelah, akhirnya aku berkesimpulan bahwa aku setuju, SEPANJANG HIDUP ini manusia pasti belajar dan bisa kapan saja berubah, tapi sebuah dasar menentukan banyak hal dalam hidup dalam fase selanjutnya. Tak ada satu fase dalam kehidupan manusia yang tidak penting, tapi memang harus diakui ada fase-fase yang harus menjadi perhatian bagi orang tua.

Tidak berseberangan dengan hal yang telah disebutkan diatas, dalam iman Kristen ada sebuah refleksi yang berasal dari sebuah teks dari perjanjian lama, dari kitab “Ulangan 6: 4-9”, PENGAJARAN, KETELADANAN, dan KEDISIPLINAN yang harus di berikan orang tua kepada anaknya secara terus menerus sepanjang hidup.

Sebenarnya dalam konsep parenting berkenaan dengan banyak hal, salah satunya adalah cara orang tua memandang siapa ANAK nya, jika si anak dianggap “milikku yang sangat berharga”, pastilah orang tua akan memperlakukan anaknya tidak semena-mena. Bagaimana cara orang tua menghargai anaknya, tercermin dari bagaimana orang tua memperlakukan anaknya dan mendidik anaknya. Ketika orang tua menganggap anaknya berharga, maka akan banyak hal menarik dan positif yang akan diberikan kepada anaknya, yang terangkum dalam PENGAJARAN, KETELADANAN, dan DISIPLIN. Tetapi cara nya tidak semudah itu, saya yakin, beberapa orang tua yang secara terbuka mengatakan, “ ampun gue gak sanggup dah, anak gue bandel banget”. Memang benar membutuhkan banyak ketrampilan dan tentunya bantuan dari pihak lain untuk terus mendukung terlebih di zaman modern seperti ini, di mana tak ada lagi batasan bagi anak untuk mengaskses banyak hal dari internet, bayangin aja, banyak anak murid yang saya kenal, sebagian besar dari mereka setiap hari muter Youtube, sampe orang tuanya kebingungan karena anaknya sering minta pulsa untuk beli kuota internet. HP yang dimiliki anak-anak remaja zaman sekarang minimal Android yang memudahkan internet ada di dalam genggaman mereka setiap hari.

Ketrampilan yang pertama adalah:
1. KOMUNIKASI
Serius? Ya iya, komunikasi itu landasan paling utama dalam sebuah komunitas. Pak Robbie Chandra bilang dalam bukunya, teori komunikasi yang sehat itu ada unsur pemberi pesan, penerima pesan, pesan yang disampaikan, dan ada feedback, kalau salah satu unsur dari situ gak ada, ancurlah sistem komunikasi kita.
Sekarang banyak gak sih orang tua yang otoriter? Banyak!!!!! Gak Cuma orang tua.. pacar juga banyak yang otoriter kan? Nah di situ bibit-bibitnya, bisa jadi lho kalau ntar jadi bapak atau ibu, doi juga otoriter, gak ada sistem toleransi, kan repot.. (duh kok ksana sih, oke balik ke topik)
Bayangin aja kita nggak pernah dikasih ruang untuk menyampaikan unek-unek ke orang tua, gak pernah dikasi waktu untuk menyampaikan saran, kritik, ketidaksetujuan dengan cara orang tua , tentunya akan ngerasa hidup ini bakal sucks banget.
Komunikasi yang sehat yang terjadi dua arah dan ada feedback itu penting banget dalam membangun sebuah hubungan yang baik. Pernah punya pengalaman pahit soal komunikasi 1 arah? (Lets start share di kolom komentar)

2. KETELADANAN
Nah masalah kedua ini tidak kalah penting dengan masalah KOMUNIKASI, keteladanan, ketika sebagai orang tua tak pernah memberikan keteladanan yang baik, maka anak juga tidak akan pernah belajar sesuatu yang baik. Wah orang belum menikah tapi sudah ngomongin masalah ini, gimana bisa?

Coba perhatikan ayat 7

“haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”.

Dengan melihat bahasa aslinya, wesinnantam lebayneka, diterjemahkan oleh LAI sebagai ajarkanlah kepada anakmu, tapi dalam bible work, “wesinnantam” memiliki kata dasar “sanan” yang diterjemahkan dalam bahasa inggris “to whet”, “sharpen”, yang artinya “mengasah, merangsang (stimulus), membangkitkan, menajamkan”

Dalam LAI versi ITB, proses pengajarannya (untuk membuat tajam, mengasah) disebutkan secara berulang-ulang, tidak instan

Dengan membandingkan dengan versi NIV

“Impress them on your children. Talk about them when you sit at home and when you walk along the road, when you lie down and when you get up”.

Kata Impress ini dekat dengan kata membuat terkesan, dan dalam budaya Indonesia mengenal dengan istilah KETELADANAN. Orang tua harus menanamkan secara terus menerus sesuatu yang baik tentang apapun termasuk tentang pengajaran tentang ketuhanan dalam sebuah keteladanan. 

3. KEDISIPLINAN
Ketika orang tua menganggap si anak menjadi bagian dari hidupnya yang sangat berharga, biasanya orang tua lupa untuk menumbuhkan kedisiplinan supaya si anak tidak harus tergantung terus pada orang tua, sebagai syaraat hidup sebagai manusia dewasa. Sampai kapan seorang anak akan terus bergantung pada orang tuanya? Sampai kapan anak harus berhenti dicebokin? Di ajari untuk mencuci celana dalam nya sendiri? Dan ketika orang tua berhasil mendisiplinkan anak dalam hal-hal kecil, orang tua juga berhasil mengontrol dirinya untuk dapat mengatur memberikan kasih sayang tidak berlebihan.

Disiplin tidak hanya diukur dari suksesnya orang tua membuat mandiri anak dalam hidupnya, tentu ukuran mencuci celana dalamnya sendiri bukan ukuran yang valid agar anak dapat mandiri, ada berbagai macam bentuk kedisiplinan lainnya yang anak harus lihat dan pelajari dari orang tuanya.
Bagaimana respon orang tua ketika anak melanggar kesepakatan, bagaimana anak menyampaikan alasan-alasan untuk bernegosiasi, berdiskusi, bukan hukuman atau kepatuhan anak yang diukur, tapi bagaimana cara anak melihat menerapkan sistem kedisiplinan dalam dirinya yang dipelajari dari orang tuanya.

Well teori di atas bukan merupakan rumusan baku saya hanya menulis sebuah omong kosong yang berharap tulisan ini tidak mengganggu idealisme banyak orang mengenai parenting.
NB: tulisan ini boleh di sanggah, diberi masukan, diberi kritikan, terlebih dalam kritik teks yang digunakan

Thursday, January 21, 2016

TAK ADA GADING YANG TAK RETAK

Topik diskusi mengenai gading yang retak, biasanya selalu dikaitkan dengan tema ketidaksempurnaan seseorang yang dapat meruncing pada tema dosa dan pengampunan. Tema ini terkadang menjadi terlalu basi untuk dibahas dalam sebuah komunitas atau di kalangan tertentu, di samping itu topik ini bisa saja menjadi topik yang tabu, sangat sensitif karena akan melukai banyak pihak. Mengapa bisa begitu? Jawabannya simpel, karena topik ini membicarakan sikap hidup manusia Indonesia kebanyakan yang masih memegang budaya “pakewuh” untuk mengingatkan sesamanya yang berbuat salah secara langsung, sehingga begitu banyak manusia Indonesia yang seringkali memilih menyimpan kebenciannya, kejengkelannya, atau ketidaksukaannya dalam hati mereka. Di lain pihak, tidak begitu banyak manusia Indonesia yang siap diingatkan oleh sesamanya, sehingga ketika kesadaran itu tidak ada, nasihat, saran, kritik yang diberikan oles sesamanya dianggap sebagai pisau yang sanggup melukai dirinya. Terlalu banyak ketakutan yang membuat menusia lebih memilih menyimpan benci daripada melepaskannya. Belum lagi jika kebencian yang lama tersimpan dalam hati dibagikan kepada orang lain (rekan curhat, apalagi yang tidak netral) bisa saja kebencian yang kecil, menjadi kebencian yang besar yang siap meledak secara bersama-sama. Sudah banyak contoh komunitas yang hancur, terpecah karena masalah kebencian yang disimpan, yang kemudian meledak bersamaan.

Berbicara mengenai contoh kebencian dalam komunitas yang sangat berbahaya, mari kita lihat dalam injil Lukas, dalam kisah Zakheus di kota Yerikho, di mana Zakheus menjadi seorang pemungut cukai, pekerja pajak bagi pemerintahan romawi di kota pusat produksi balsem. Orang Yahudi yang bekerja bagi pemerintah romawi, tidak dapat dipandang sebelah mata, dia berarti merupakan orang penting, orang yang dianggap berjasa bagi kekaisaran Roma, terlebih dalam permasalahan uang negara, tentunya kepercayaan pemerintah terhadap Zakheus, dapat melahirkan hak istimewa baginya dan hak istimewa tersebut diinginkan oleh setiap orang dalam zaman pemerintahan romawi. Di sisi lain, bagi orang Yahudi, zakheus dianggap sebagai penghianat bangsa, karena dia memungut pajak tidak pandang bulu, tidak berarti orang yahudi bebas pajak. Oleh karena hal ini, zakeus memiliki stereotype sebagai seorang pendosa bagi bangsanya. Sedangkan orang Yahudi jika memandang dosa, merupakan hal yang najis, menjijikkan, dan bisa menyebabkan dikucilkan, karena dosa yang najis itu harus dijauhi. Memiliki stereotype sebagai “seorang pendosa” dapat menjadi hal yang tidak menyenangkan untuk zakeus, istilah zakheus adalah “jape mete” atau “cahe dewe” (orang sendiri – kaum sendiri) orang yahudi yang dibenci oleh orang yahudi, tentunya sangat menyakitkan, hal ini bisa saja dirasakan bila kita memandang dari kacamata zaman sekarang, tentu sangat menyakitkan bila kita dimusuhi oleh orang sendiri, teman sendiri, saudara sendiri, tetangga sendiri, dimusuhi oleh komunitas, atau bahkan dimusuhi oleh orang gereja.

Dalam teks Injil Lukas, kita juga kerap kali menilai zakeus sebagai pendosa, bukan karena kita menyadari dia sebagai pendosa, tetapi karena penilaian orang banyak saat itu, “dia mampir ke rumah orang berdosa”. Tanpa kita mau memikirkan sebenernya zakheus kalau telat setor pajak pada pemerintahan romawi apa yang akan terjadi padanya? Karena tanggung jawab kepada negara untuk permasalahan pajak diduga sangat besar. Karena pajak saat itu salah satunya berguna untuk memelihara alat perang, sedangkan kekaisaran romawi sangat haus dengan penaklukan bangsa lain/ perang. Sering kali pembaca injil Lukas turut memberikan label pendosa bagi zakheus karena pengaruh dari teks, tapi mari kita tidak berhenti di situ, lihat apa yang dilakukan oleh Yesus ketika dia mendengar apa yang diutarakan zakheus dalam rumahnya. Dalam Lukas 19:9a “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini”. Bahkan Yesus sama sekali tidak mengatakan bahwa zakheus adalah seorang pendosa. Bagi saya pribadi, bukan hanya kata “soteria - keselamatan” yang menarik untuk dihayati, tapi mengapa respon Yesus begitu luar biasa terhadap ucapan zakheus, ucapan yang mendatangkan keselamatan. Bagi saya, ada sebuah penerimaan dari Yesus terhadap kesadaran dan niatan untuk melakukan sebuah perubahan dari yang tidak baik, menjadi sesuatu yang baik, dari sesuatu yang bersifat untuk diri sendiri, berubah untuk kesejahteraan sesama. Yesus sama sekali tidak menggunakan kata dosa dan dilekatkan pada pribadi zakheus, tapi keselamatan hadir dalam rumah zakheus karena ada niatan untuk melakukan sebuah perubahan, dan Yesus me sangat bersukacita untuk itu.

Manusia yang eksis sebagai mahluk sosial, memiliki kekuatan yang sangat besar bila bersatu dalam sebuah komunitas, sebagai contoh positif: ketika warga gereja bersatu hati, bertekad untuk merenovasi gedung gerejanya, tidak akan lebih sulit jika dibandingkan dengan yang tidak bersatu hati. Ketika kelompok remaja bersatu hati ingin memiliki gitar, maka upaya yang dilakukan benar-benar dapat mempengaruhi apa yang harus dilakukan untuk menggapai cita-cita dalam komunitas tersebut. Tetapi harus diwaspadai, kejahatan komunitas juga dapat terjadi dalam kehidupan manusia yang rapuh. Komunitas gereja bahkan bisa menjadi pihak yang sangat jahat untuk mempengaruhi sesamanya untuk like dan dislike berdasarkan keinginan tertentu. Meskipun hidup sebagai sesama pemeluk agama kristen, tak malu untuk melahap sesamanya dan memberikan label secara masal pada seseorang yang dibenci.

Mari sejenak meletakkan kebencian yang dimiliki, belajar dari respon Yesus terhadap zakheus yang terlabel dengan dosa oleh komunitas, ada sebuah penerimaan sebagai langkah awal dalam sebuah pemulihan. Penerimaan untuk menganggap bahwa zakheus layak untuk mendapatkan kesempatan untuk berubah, penerimaan yang tulus yang melahirkan pengampunan untuk sesama. Penerimaan yang memberikan kesempatan untuk berubah, memberikan panggung bagi sesama untuk mewujudkan perubahan yang disadarinya. Perubahan yang tentunya membawa damai dan keselamatan bagi si pendosa ataupun orang lain.

QUOTE: 
“tidakkah kau terlalu rindu untuk mengampuni sesamamu yang bersalah kepadamu? Ataukah dalam hidupmu, kau tak pernah mendapatkan pengampunan dari sesamamu atau dari Tuhan sekalipun sehingga engkau sulit mengampuni?"

Wednesday, January 20, 2016

TENTANG RINDU [bagian pertama]

saya biasa nya ngeblog dan membiarkan diri saya berekspresi di dunia maya, tentu saja pake akun klonengan, hari ini sempat ngobrol dengan teman baru di youtube. biasanya ngobrol ngalor ngidul ngomongin makanan, diskusi soal politik, tapi ntah kenapa tadi ngomongin soal "rindu" dengan beberapa teman di sana.

ada yang berbicara intinya begini, "kalau belum pernah ketemu sama orangnya, kok bisa ngomong rindu, pasti gombal...!!!!"

saya terkekeh dalam hati dan ini menarik, saya mencoba menerima tapi juga menolak pandangan itu dan tiba-tiba saya teringat, rindu yang hadir akibat dari perjumpaan lewat tulisan atau lewat suara, itu mungkin saja terjadi... ada "sesuatu" yang didapat dari perjumpaan tulisan, suara, dalam telepon, diskusi, atau bahkan, ada keindahan yang dilihat, ada rasa haus yang dapat dientaskan di dalamnya. membuat perasaan ingin berjumpa terus berulang ulang.

sejenak saya membandingkan dengan konsep rindu pada Tuhan, mmmm manusia memang nggak pernah bertemu dengan Tuhan secara kasat mata, tapi ada rindu yang dirasakan untuk terus dekat, ingin terus bertemu, dan ingin terus bersama-Nya, ada rasa haus yang segera dapat dituntaskan...
yah itulah rindu, saya semakin yakin, rindu itu ada, meskipun kita belum pernah berjumpa.

"Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya"