Saturday, August 29, 2015

SIAP NAIK LEVEL?

20 tahun lalu, saya masih ingat betapa senangnya bersama teman-teman mainan lompat tali menggunakan karet, karena saya paling kecil diantara temen bermain, setiap kali saya mau lompat pasti selalu “se-dengkul” gak pernah lebih dari itu meskipun saya sudah MERASA bias lompat sampe “se-MERDEKA” alias sak pol-pole. Tapi pernah suatu kali saya mencoba lompak se-pundak, se-sirah sangat kesulitan, sampe-sampe pernah karetnya putus gara-gara kesanggut kaki saya, dan nyabet mata temen saya, akhirnya dia menangis pulang, selesailah permainan. Ah rasanya ingin mengalami masa itu lagi, tapi nyatanya sudah tidak bisa, badan sudah gemuk, berat udah nggak memungkinkan lagi untuk lompat-lompatan, akhirnya cuma senyum aja ketika mengingat masa itu.

Sedari kecil orang Indonesia lekat sekali dengan permainan tradisional, jaman dlu belom ada fesbuk, belom ada twiter, belom ada pet, instagram, snepcet, atau sosmet apapun itu, rasanya bermain dengan teman sendiri merupakan hal yang paling dinanti tiap pulang sekolah. Main petak umpet sampe keliling desa, main benteng-bentengan, bekel, gopaksodor, kling-kling brok, dan tengsek (dari bungkus rokok), cublak-cublak suweng…

kalau mau diperhatikan secara serius, anak-anak Indonesia angkatan 70-80 dan awal 90 an masih lekat dengan permainan tradisional yang erat sekali dengan TEAM WORK dan STRATEGI, mereka memainkan semua game itu hampir di sepanjang usia sekolah sampe SMA, meskipun bentuknya sudah lain. Di SD guru olah raga sering ngajakin main kasti, lari estafet, main kucing dan tikus, di SMP mulai di ajari basket, SMA mulai lebih serius basket, dan cabang olah raga beregu lainnya. Sejatinya bermain game yang asik, sarat TEAMWORK dan STRATEGI seharusnya ketika menginjak dewasa bekal itu tidak hilang, setidaknya sudah mengakar dalam jiwanya. Tapi kalau dilihat realita orang dewasa jaman sekarang, baik dari yang awam sampe yang berpendidikan untuk memahami TEAMWORK dan STRATEGI sulitnya bukan main, ada yang pediren (kalau lainnya gak kerja dia ikutan gak kerja), ada yang merasa sok powerful, ada yang merasa paling sanggup ngejalanin semua (temen-temennya gak dibagiin tugas sama sekali), ada yang ngerasa nggak bisa ngapa2in, ada yang bisa nya Cuma perintah sana sini, perfeksionis, idealis… semuanya terlihat INDIVIDUAL. Lalu kemana pemaknaan yang menyoal TEAMWORK dan STRATEGI yang sejak dulu dimainkan?

Coba menengok ke belakang, jangan-jangan game yang dimainkan memang sarat akan TEAMWORK dan STRATEGI, tapi untuk membully anggota tim yang cupu, bukan menjadi bahagia bersama-sama. Percaya gak? Coba liat pola nya, kita lebih suka tertawa karena salah 1 dari teman kita yang jaga terus-terusan ketika main petak umpet, pokoknya dibuat supaya gak bisa ikut sembunyi, dan 1 tim dengan kita, karena kita gak suka dia, dia umbelen, kopoken, dan gendut, jadi kalau ada game yang lari2an 1 tim sama si gendut ya udah amsyong, mending si gendut aja yang jaga, biar dia lari sana sini, ngejar kita gak kena-kena, sampe keringetan main dari jam 1 siang sampe jam 5 sore, diaaaaaa terus yang jaga, dan kita tertawa terbahak-bahak tanpa memperhatikan kepedihannya. Atau di ajak main bola tapi di “unthul”, mmmm.. dia lari kejar bola, hampir dapat, kita tendang ke temen kita yang jauh, dia kejar lagi, digodain temen kita, hampir dapet, di oper lagi ke kita, begitu seterusnya sampe akhirnya dia nangis karena mukanya kena bola yang ditendang keras-keras tapi gagal.

Mungkin ada dari kita yang “bad ass” tapi juga ada yang tipe pemerhati, “nyemanak”, tapi kebanyakan yang “bad ass” nya, jadi jangan salah kalo meskipun udah dewasa ya kita bakalan jadi kampret yang suka ngebully rekan kerjanya, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Clan War Clash of Clan atau DOTA itu permainan anak-anak jaman sekarang. Anak jaman sekarang udah nggak bisa diajakin main karet, mending main android berjam-jam bikin status galau dan ngikik seharian liatin status temen yang konyol-konyol, atau main COC ngedit layout berjam-jam, sampe bangun tembok dari TH 4 sampe TH 5 dipantengin rela gak tidur, rela gak ibadah, rela mati sosial… lalu yang ngajarin mereka soal TEAMWORK dan STRATEGI sapa? Kucing? Ya gak juga.. KITA!!!! Kita yang ngajarin, orang orang angkatan 70-80 sampe 90 awal. Trus kita mau ngajarin apa kalo kita bisanya Cuma nge-buli?

Yuk sejenak kita lihat skema pembagian tugas di TEAMWORK
1. KAPTEN, dia adalah orang yang berkomitmen tinggi untuk menjaga tim nya menuju keberhasilan. Dasarnya adalah KOMITMEN, kapten atau ketua regu itu HARUS PUNYA jiwa yang mau mati buat tim nya. HARUS MAU berkorban buat timnya. Bukan sok-sok an berkorban, bukan sok sok an yang paling repot, paling besar bebannya, itu bukan jiwa TEAMWORK yang sebenarnya, itu jiwa pembuli!! KAPTEN itu harus mau makan paling terakhir setelah anggotanyanya, kapten itu harus mau tidur paling terakhir setelah anggotanya, tujuannya jelas, KAPTEN harus mempelajari strategi lebih baik daripada anggotanya, supaya dia bisa pimpin anggotanya dengan baik, BUKAN SOK PERINTAH sana sini. Kalau anak buah baca 3 buku KAPTEN harus baca 5 buku. Kalau anak buah berdoa 5 menit, kapten harus berdoa 10 menit. Kapten siap mendengarkan keluhan anggotanya, siap menutupi kekurangan anggotanya, harus siap jadi pendamai jika anggotanya ada yang berantem, harus mampu melihat karakter anggotanya, dan siap memberikan waktu paling banyak buat anggotanya. REPOT YA JADI KAPTEN!!!! Sekali lagi, dasarnya KOMITMEN, Cuma itu yang bisa menyadarkan seorang kapten pada tugas-tugasnya. KOMITMEN, sekali dia bilang SAYA BERSEDIA JADI KAPTEN, itu berarti dia mau memberikan dirinya untuk anggotanya dan timnya.

2. TUKANG REM, nah ini tugasnya susah juga, NGERI-NGERI SEDAP, kalo jadi tukang rem gak siap mental bakalan repot, kalau ada anggota yang masih bocah jiwanya, dikit-dikit ngambek, tukang rem HARUS SIAP TAHAN BADAN, TAHAN HATI untuk dimusuhi anggota, tapi kalo tukang rem ini jago baca situasi dan kondisi, dia bakal menentukan TIM nya bisa menang atau nggak. Dia harus pinter menentukan kapan timnya harus berhenti untuk istirahat atau berjalan lagi, artinya bisa baca kondisi timnya, kelelahan atau dalam kondisi prima. Kalo gak pinter baca sikon, timnya bisa menang, tapi waktu yang dibutuhkan bakalan lebih lama, alias perlu waktu lebih.

3. PENGGEMBIRA, ini kadang yang kasian, tapi tugasnya juga penting. Orang ini adalah pembawa keceriaan dalam tim, nggak pintar, sedikit bodoh, tapi rasa setia kawannya tinggi. Orang ini jarang banget ditemui, karena GAK BANYAK yang mau NGAKU kalo dirinya bodoh (punya kelemahan) disbanding orang lain, kadang orang kayak gini bisa jadi boomerang buat tim, dia bisa egois, semaunya sendiri, tapi bisa jadi orang yang paling mudah diarahkan. Biasanya kalo ada yang cupu pasti bilang “mohon bimbingannya ya kakak”, tapi kalo PENGGEMBIRA yang gak sadar diri, dia seenaknya aja ngancurin strategi TIM. Biasanya PENGGEMBIRA ini jiwa nya ekspresif, bisa cepat ngambek tapi bisa cepet rame lagi. Butuh tangan yang handal buat orang yang mengarahkan orang seperti ini.

4. BATU PENJURU, nah ini juga NGERI-NGERI SEDAP tugasnya, jadi batu penjuru, tukang ngingetin kalo tim punya goal, kalau terlalu terbawa senang, dia bisa ngingetin, koordinasi sama TUKANG REM tadi. Tapi dia cenderung mengingatkan untuk “stay low”, rendah hati, inget pada tujuan tim dibentuk, orang kayak gini punya kesadaran tinggi terhadap euphoria sementara. Tugas ini juga harus siap dimusuhin sama rekan TIM nya, karena kadang bisa dimaki-maki dan di jutekin rekan 1 tim.
Itu tadi gambaran gimana punya jiwa TEAMWORK dalam ke-tua-an umur kita, para angkatan terdahulu. Kalau kita siap naik level, TOTALITAS dan KOMITMEN sebagai 1 kesatuan dari tim dan sadar peran dalam tim itu penting banget, harus jadi bahan refleksi setiap hari. nah tergantung anda semua sekarang, mau naik level atau masih jadi pembully?


Tuesday, August 25, 2015

CERPEN : SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU

Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung?tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

“semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang ?asli? ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap.Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

by Seno Gumira Ajidarma